Kenapa seseoang memeluk agama tertentu, dan bukan agama lain? Kenapa seseorang menjadi Muslim, yang lain Kristen, yang lain lagi Hindu, yang lainnya lagi Budha, dan seterusnya? Apakah keanggotaan seseoang dalam agama tertentu adalah hasil keputusan yang bersangkutan, atau karena "kebetulan sosial"? Kalau seseorang lahir dalam keluarga Muslim, apakah tidak dengan sendirinya ia akan menjadi Muslim pula? Jika orang yang sama lahir dalam keluarga Kristen, bukankah kemungkinan besar dia akan menjadi Kristen? Jika benar demikian, apakah agama adalah sesuatu yang "diberikan" oleh masyarakat, bukan sesuatu yang kita pilih sendiri secara bebas?
Esei pendek ini akan mencoba menjawab masalah ini. Isu ini sebetulnya telah menjadi bahan studi tersendiri di kalangan sarjana dalam rubrik besar yang disebut dengan "konversi" atau gejala pindah agama. Konversi bukan saja fenomena individual, tetapi juga komunal, sosial, dan bahkan memiliki implikasi lebih luas lagi pada level "pembentukan sebuah peradaban". Studi-studi mengenai masalah ini bisa dibaca melalui beberapa buku seperti Conversion to Christianity: Historical and Anthropological Perspectives on a Great Transformation (1993) yang disunting oleh Prof. Robert Hefner. Buku lain yang lebih menyoroti aspek konversi dalam konteks Islam adalah Conversion to Islam (1979) suntingan Nehemia Levtzion. Kenapa seseorang memeluk atau pindah ke agama tertentu bisa dijawab dengan dua pendekatan. Yang pertama adalah pendekatan dari "dalam", dan kedua pendekatan dari "luar". Pendekatan dari dalam maksudnya adalah melihat masalah ini dari sudut pandang pemeluk agama tertentu; sementara pendekatan dari luar mencoba melihatnya dari kaca-mata sosiologis, yakni meletakkan masalah ini sebagai gejala sosial yang dapat kita amati bersama, tanpa memperdulikan bagaimana sudut pandang pemeluk agama itu. Saya akan mulai dari sudut pandang dari dalam. Dilihat dari "dalam", fakta bahwa seseorang memeluk agama tertentu biasanya dijelaskan dengan berbagai cara. Dalam konteks Islam, misalnya, hal itu dijelaskan dengan konsep "hidayah" atau petunjuk. Dalam pandangan seorang Muslim, seseorang menjadi Muslim, entah sejak lahir atau sesudah dewasa, karena yang bersangkutan mendapat petunjuk (hidayah) dari Tuhan. Konsep ini mengandaikan bahwa yang bersangkutan, sebelum masuk Islam, berada dalam keadaan tersesat (dlalal). Dalam Islam dikenal konsep tentang "jalan yang lurus" (al-sirat al-mustaqim). Meskipun istilah ini sering dipakai oleh umat Islam dalam konteks eskatologi (doktrin atau ajaran tentang hari akhir--yaum al-qiyama), tetapi konsep tersebut juga sering dipakai untuk menunjuk agama Islam itu sendiri. "Jalan yang lurus", dengan demikian, bukan saja merujuk kepada "jembatan ujian" ("titian serambut dibelah tujuh", meminjam judul film arahan Asrul Sani dulu) yang terbentang di atas neraka kelak untuk menguji iman seseorang, tetapi juga merujuk kepada agama Islam. Islam adalah jalan yang lurus. Seseorang yang tidak mengikuti jalan ini dianggap sebagai berada dalam jalur yang sesat, menyimpang. Jika seseorang masuk Islam, ia mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang lempang dan benar. Konsep serupa, meskipun tidak mirip sama, kita temukan dalam agama Kristen. Di sana, misalnya, dikenal konsep tentang keselamatan. Seseorang yang memeluk agama Kristen dilihat sebagai orang yang terselamatkan. Manusia sering digambarkan sebagai domba-domba (sheep), sementara para pendeta dan pelayan Tuhan disebut sebagai gembala (sheperd). Dalam Injil Yohanes 10:11, misalnya, Yesus menyebut dirinya sebagai "gembala yang baik" (I am the good sheperd, demikian dikatakan dalam John 10:11). Oleh karena itu, dalam kalangan Kristen lazim kita kenal ungkapan "domba-domba yang tersesat", yakni manusia yang belum mengikuti jalan Kristus. Jika seseorang mengikuti jalan itu, maka ia disebut sebagai "domba yang terselamatkan". Konsep ini kurang lebih mirip dengan konsep "hidayah" dalam Islam. Keduanya melihat mereka yang bergabung dalam komunitas agama sebagai orang-orang yang berada dalam jalan lurus, jalan keselamatan menuju sorga. Mereka yang ada di luar itu adalah tersesat. Dalam konsep hidayah sebagaimana dikenal dalam Islam, terkandung suatu gagasan tentang "intervensi Tuhan". Seseorang masuk dalam Islam bukan semata-mata karena keputusan dia sendiri, tetapi juga intervensi Tuhan. Seseorang bisa saja mengetahui dengan baik bahwa Islam adalah agama yang benar, tetapi belum tentu ia mau masuk ke dalamnya. Contoh yang sering dipakai oleh kalangan Islam adalah kaum orientalis, yakni sarjana non-Muslim yang dengan tekun dan simpatik (atau boleh juga non-simpatik) mempelajari Islam, tetapi ia tidak menjadi Muslim. Oleh umat Islam, gejala seperti ini dijelaskan dengan konsep "hidayah": karena orientalis bersangkutan belum mendapat petunjuk dari Tuhan, maka dia tak mau masuk Islam, walau dia telah belajar tentang ajaran Islam secara mendalam. Berkaitan dengan soal "hidayah" ini, ada sebuah anekdot yang menarik. Seorang antropolog "bule" dari Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian lapangan di pesantren Darut Tauhid asuhan da'i kondang, KH. Abdullah Gymnastiar atau dikenal sebagai Aa Gym. Melihat si bule dengan simpatik melakukan penelitian tentang pesantren, kegiatan dakwah Aa Gym, dan Islam secara umum, salah seorang santri di sana terheran-heran: kalau si bule itu meneliti kegiatan dakwah Islam dengan penuh simpatik, kenapa dia tak masuk Islam saja. Lalu si santri itu memberanikan diri bertanya, "Tuan, kenapa anda tak masuk Islam saja, toh anda kelihatan begitu simpatik pada agama kami, dan mengetahui dengan baik tentang agama kami?" Si bule rupanya tak pernah berpikir akan menghadapai pertanyaan seperti itu. Dia datang ke Pesantren Darut Tauhid untuk melakukan penelitian ilmiah. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang dakwah Islam, dia harus masuk ke dalam komunitas yang menyelenggarakan dakwah, dan mencoba memahaminya secara simpatik, bukan menilainya menurut standar nilai yang berasal dari luar. Itulah sikap ilmiah yang dikenal dalam kajian antropologi. Karena bingung mencari jawaban, si bule punya ide agak "nakal". Dia bilang, "Saya belum mendapatkan hidayah, sehingga saya tidak masuk Islam". Si santri langsung diam. Jawaban si bule, rupanya, tepat mengenai sasaran dan dapat dimengerti oleh si santri yang memahami dengan baik hubungan antara konsep hidayah dengan keputusan seseorang untuk masuk Islam. Bagaimana penjelasan dari luar? Bagaimana menjelaskan seseorang masuk suatu agama tertentu dari sudut pandangan sosiologis? Kalau kita menelaah dengan cermat bagaimana sesearang masuk kedalam komunitas agama tertentu, akan kelihatan pola-pola berikut ini. Pertama, umumnya seseorang masuk atau pindah agama karena faktor keluarga atau masyarakat sekitar. Seorang yang lahir dalam keluarga Muslim dengan sendirinya akan menjadi Muslim. Begitu pula yang lahir dalam keluarga Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain, ia akan mengikuti agama keluarga itu. Dengan kata lain, seseorang menjadi, katakanlah, Muslim bukan karena faktor "kebetulan sosial". Umumnya orang-orang Muslim memeluk agam Islam bukan karena pilihan yang bebas, tetapi karena faktor eksternal, yakni keluarga dan masyarakat. Kedua, konversi atau pindah agama karena keputusan dan pilihan yang bebas adalah gejala yang jarang terjadi. Kalau kita lihat sejarah perkembangan Islam sendiri pada masa Nabi, pola serupa bisa kita temukan pula. Setelah Nabi berhasil menaklukkan kota Mekah pada 8 Ramadan, 10 H atau Januari 630 M, puluhan ribu orang Arab berbondong-bondong masuk Islam. Umumnya, mereka masuk Islam bukan karena "pilihan yang bebas", tetapi karena melihat suatu kenyataan yang tak bisa mereka tolak, yakni Islam menjadi agama yang secara "politik" menang di tanah Arab. Bergabung dalam agama "baru" itu tentu akan lebih menguntungkan ketimbang bertahan dalam "agama lama" yang sudah kalah dan merosot. Dengan kata lain, mereka yang masuk Islam karena alasan politik pada saat itu jauh lebih banyak ketimbang masyarakat Arab yang masuk Islam karena "kesadaran intrinsik" seperti kasus yang terjadi pada sejumlah sahabat utama yang masuk Islam pada era awal. Contoh yang terkenal adalah Umar ibn Khattab yang masuk Islam karena suatu "momen puitis" yang mengharukan. Sebagaimana kita tahu, Umar masuk Islam setelah mendengar lantunan ayat Qur'an yang dibacakan oleh saudara perempuannya. Mendengar ayat-ayat Qur'an yang "tak lazim", Umar seperti terserang "setrum" karena takjub atas ayat-ayat itu. Ia langsung memeluk agama baru itu. Menjadi Muslim a la Umar ini sudah jarang terjadi pada masa-masa dakwah Nabi paska-penaklukan Mekah. Itulah yang menjelaskan kenapa begitu Nabi wafat, ribuan orang-orang Arab meninggalkan Islam dan kembali ke agama mereka yang lama. Mereka masuk Islam lebih karena alasan politik, dan karena itu Islam tidaklah masuk dan menghunjam dalam jiwa mereka. Dalam masyarakat pra-modern, pindah agama karana alasan politik, komunal, atau hubungan-hubungan sosial yang lain sangat lazim. Pada masa lampau, masyarakat biasanya mengikuti agama sang raja. Dalam Eropa abad pertengahan, dikenal suatu ungkapan Latin, cuius regio eius religio, siapa memliki wilayah, ia memiliki agama pula. Dengan kata lain, siapapun yang berkuasa dalam suatu negara, maka ia berhak menentukan agama yang harus dipeluk oleh seluruh penduduk dalam negara itu. Inilah yang menjelaskan kenapa pada zaman pra-modern dulu, seorang raja yang pindah ke agama baru akan diikuti oleh sebagian besar penduduknya. Bagi kaum misionaris, hal ini tentu menguntungkan sekali. Jika seorang misionaris atau da'i berhasil meyakinkan sang raja untuk masuk ke agama tertentu, maka keuntungan yang diperoleh bisa berlipat-lipat: bukan hanya raja saja yang akan pindah agama, tetapi juga seluruh, atau sekurang-kurangnya sebagian besar, penduduk. Selain, agama itu akan mendapat pengaruh politik yang lebih luas. Ini adalah contoh pindah agama karena faktor politik yang lazim dan sering terjadi dalam sejarah pra-modern, bukan hanya dalam kasus Islam, tetapi juga agama-agama lain. Gejala pindah agama karena keputusan yang bebas makin sering kita lihat dalam era modern sekarang ini. Ini tentu berkaitan dengan makin kuatnya konsep individualisme, selain konsep hak asasi yang cenderung memandang agama dan keyakinan sebagai pilihan pribadi. Gejala ini makin luas terjadi di negeri-negeri Barat. Ribuan orang di Amerika, misalnya, menjadi Muslim setiap tahun, bukan karena paksaan keluarga atau masyarakat, tetapi karena pilihan pribadi yang bebas. Begitu juga kita melihat ribuan orang Amerika yang meminati ajaran Budha dan ajaran-ajaran spiritualitas dari Timur; semuanya itu karena pilihan yang bebas. Tetapi, gejala pindah agama secara sukarela itu tetap lebih kecil dan terbatas jika dibandingkan dengan pola beragama yang konvensional yang sudah kita kenal selama ini, yakni beragama karena mengikuti tradisi keluarga atau masyarakat yang ada. Dengan kata lain, secara sosiologis, umumnya seseorang menjadi Muslim, Kristen, Hindu, Budha atau yang lainnya bukan karena hidayah, petunjuk, pencerahan yang datang dari Tuhan, karena intervensi dari "atas", tetapi karena lingkungan sosial. Kalau mau, anda bisa mengatakan: karena "kebetulan sosial". Ketiga, seseorang yang memeluk agama karena faktor komunal atau lingkungan sosial bukan berarti ia memeluk agama itu dengan terpaksa. Ia memang menerima agama dari keluarga atau lingkungan sosial di sekitarnya, dan untuk itu dia tak bisa memilih. Tetapi, setelah dewasa, ia pelan-pelan mempelajari agama itu dan melakukan internalisasi atau pembatinan atas doktrin-doktrinnya. Agama yang semula ia terima secara "alamiah", kemudian mengalami internalisasi. Setelah dewasa, ia bisa memilih tetap dalam agamanya, atau keluar. Ketika memilih tetap berada dalam agama yang ia peroleh dari lingkungan sekitar, maka di situ dia telah mengambil suatu keputusan. Dengan kata lain,setelah yang bersangkutan beranjak dewasa, agama yang semula "diberikan" oleh lingkungan, menjadi agama yang ia "pilih" dengan bebas. Tetapi, gejala lain juga layak kita perhitungkan. Banyak pula kita saksikan orang-orang yang menerima agama dari keluarga dan lingkungan sekitar sejak kecil, dan ia tak berusaha lebih lanjut untuk mempelajari dengan baik agama itu, sehingga dengan demikian ia mampu mengubah agama yang semula "terberi" menjadi agama yang dipilih dengan bebas. Dalam konteks Islam, kita mengenal istilah "Muslim nominal", misalnya, yakni seseorang yang memeluk Islam dari segi nama saja, tanpa memahami ajaran agama itu dengan baik. Muslim nominal adalah bentuk dari keberagamaan komunal yang lazim kita lihat dalam masyarakat. Bagi mereka, agama bukan merupakan "tindakan rohaniah" yang melibatkan keputusan yang bebas dan penuh kesadaran, tetapi identitas komunal belaka. Mereka bisa marah luar biasa saat simbol-simbol agama yang ia peluk dicederai oleh orang lain, terutama "orang lain" yang dianggap musuh, walaupun ia tak pernah menjalankan ibadah dengan baik.
Sumber : Google, http://groups.google.com/group/soc.culture.indonesia/browse_thread/thread/0799d2c251ca7917/bf6bba80415248f1?pli=1